Powered By Blogger

Sabtu, 01 Juni 2013

Supaya Kita Meninggalkan Maksiat



“Tiada hari tanpa maksiat”, kata ini mungkin lebih tepat untuk suasana hidup di zaman ini. Di kantor, di kampus, di jalan, bahkan di rumah sendiri, fasilitas maksiat tersedia.

Di kantor, godaan maksiat ada di mana-mana. Teman, orang luar, bahkan diri sendiri. Jika tidak karena iman, bukan mustahil akan mudah bermaksiat di hadapan Allah baik dengan terang-terangan atau tersembunyi. Kesempatan terbuka luas. Jadi kasis kita bisa memanipulasi uang, jadi pemasaran kita bisa memanipulasi dan korupsi waktu.

Televisi kita 24 jam menyediakan tontonan penuh fitnah dan umbar aurat. Bahkan di saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata, masih saja ada kesempatan bermaksiat.

Memang, meninggalkan maksiat adalah pekerjaan yang tidak ringan. Ia lebih berat daripada mengerjakan taat (menjalankan yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya), karena mengerjakan taat disukai oleh setiap orang, tetapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para siddiqin (orang-orang yang benar, orang-orang yang terbimbing hatinya).

Terkait dengan hal tersebut Rasulullah Sallallahu aalaihi wa sallam. bersabda: “Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan. Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya.”

Apabila seseorang menjalankan sesuatu tindak maksiat, maka sebenarnya ia melakukan maksiat itu dengan menggunakan anggota badannya. Orang yang seperti ini sejatinya telah menyalahgunakan nikmat anggota tubuh  yang telah dianugerahkan Allah pada dirinya. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, ia telah berkhianat atas amanah yang telah diberikan kepadanya.

Setiap kita berkuasa penuh atas anggota tubuh kita, pikiran dan jiwa kita. Akan tetapi, terkadang, kita begitu susah menggendalikan apa yang menjadi ‘milik kita’ itu. Tangan, mata, kaki dan anggota tubuh yang lain, kerap bergerak diluar kendali diri, yang tak jarang bertentangan dengan idealisme atau nilai-nilai keyakinan  yang kita anut dan kita yakini. Padahal, rekuk relung kalbu  kita bersaksi bahwa semua anggota tubuh itu, kelak  akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita di Padang Mahsyar.

Firman Allah SWT : “Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian lah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan (di dunia dahulu).” (Yassin:  65).

Bagaimana agar kita selamat dari maksiat?

Di bawah ini beberapa ikhtiar, yang bila dijalankan secara sungguh-sungguh, insya Allah membawa faedah.

1. Menjaga Mata
Peliharalah mata dari menyaksikan pemandangan yang diharamkan oleh Allah SWT seperti  melihat perempuan yang bukan mahram. Hindari, atau minimal kurangi– untuk pelan-pelan tinggalkan sejauh-jauhnya–  melihat gambar-gambar yang dapat membangkitkan hawa nafsu. Termasuk menjaga mata, janganlah memandang orang lain dengan pandangan yang rendah(sebelah mata/menghina) dan melihat keaiban orang lain.

2. Menjaga Telinga
Menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak berguna seperti: ungkapan-ungkapan mesum/kotor/jahat. Poin kesatu dan kedua ini menjadi tidak mudah di saat di mana gosip telah menjadi komuditas ekonomi. Gosip telah menjadi kejahatan berjamaah yang dianggap hal yang lumrah dilakukan, dan wajib ditonton dan disimak. Kehadirannya disokong dana yang tidak sedikit, dimanajeri, ada penulis skenarionya, ada kepala produksinya, ada reporternya dan seterusnya.

Rasulullah S.A.W. bersabda : “Sesungguhnya orang yang mendengar (seseorang yang mengumpat orang lain) adalah bersekutu (di dalam dosa)dengan orang yang berkata itu. Dan dia juga dikira salah seorang daripada dua orang yang mengumpat.”

Oleh karenanya, menjaga mata-telinga adalah pekerjaan yang memerlukan energi dan kesungguhan yang kuat dan gigih.

3.Menjaga Lidah
Lidah adalah anggota tubuh tanpa tulang yang kerap mengantarkan pada perkara-perkara besar. Kehancuran rumah tangga, pertengkaran sahabat karib, hingga peperangan antar negara, dapat dipicu dari sepotong daging kecil di celah mulut kita ini.

Rasulullah Saw. bersabda : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya.” (Riwayat Athabrani dan Al Baihaqi)

Jagalah lidah dari perkara-perkara seperti berbohong, ingkar janji, mengumpat, bertengkar / berdebat / membantah perkataan orang lain, memuji diri sendiri, melaknat(mncela) makhluk Allah, mendoakan celaka bagi orang lain dan bergurau( yang mengandung memperolok atau mengejek) orang lain.

4. Menjaga Perut
Yang hendaknya selalu di ingat:  perut kita bukan tong sampah! Input yang masuk ke dalam perut akan berpengaruh langsung/tidak langsung terhadap tingkah laku/sikap/tindakan kita. Karenanya, peliharalah perut dari makanan yang haram atau yang syubahat. Sekalipun halal, hindari memakannya secara berlebihan.

Sebab hal itu akan menumpulkan pikiran dan hati nurani. Obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit modern sebagai akibat lain dari tidak terkontrolnya urusan perut.

5. Menjaga Kemaluan
Kendalikan sekuat daya dorongan melakukan apa-apa yang diharam kan oleh Allah SWT. Firman Allah-Nya:“Dan mereka yang selalu menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau apa-apa yang mereka miliki (daripada hamba jariah) maka mereka tidak tercela.” (Al Mukminun:  5-6)

6.Menjaga Dua Tangan
Kendalikan kedua tangan dari melukai seseorang (kecuali dengan cara hak seperti berperang, atau melakukan balasan yang setimpal). Katakan “stop”, pada tangan, ketika akan bertindak sesuatu yang diharamkan, atau menyakiti makhluk Allah, atau menulis sesuatu yang diharamkan atau menyakiti perasaan orang lain.

7.Menjaga Dua Kaki
Memelihara kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan atau berjalan menuju kelompok orang atau penguasa yang zalim tanpa ada alasan darurat karena sikap dan tindakan itu dianggap menghormati  kezaliman mereka, sedangkan Allah menyuruh kita berpaling dari orang yang zalim.

Firman Allah SWT. : “Dan jangan kamu cenderung hati kepada orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka.” (Hud: 113)

Pintu-pintu bagi masuknya maksiat terbuka lebar pada ketujuh anggota tubuh di atas. Pun kunci-kuncinya ada dalam genggaman tangan kita untuk membendungnya. Jadi, semua kembali kepada manusianya. Tentu hamba Allah yang cerdik, adalah mereka yang  mempergunakan amanah tubuh untuk senantiasa berjalan di atas rel keridhaan-Nya.

Akhirul kalam, ada sebuah hadits Nabi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya.” (Riwayat Abu Ya’li). Nah, bagaimana dengan kita?



Hidayatullah.com

Ternyata 1+1=0???



Saat membuat posting ini saya masih normal dan tidak gila. Bukan karena seminggu tidak posting terus lupa atau hilang ingatan. Bukan juga karena seminggu menulis buku matematika, membuat soal dan mengerjakannya sendiri terus pikiran melayang-layang dan lupa akan diriku sendiri. Lihatlah judul posting di atas. Judul diatas tidak salah ketika atau sekedar ingin cari sensai saja.

Sejak kecil, guru Anda mengajarkan bahwa 1 + 1 =0. Dan Anda percaya juga karena Anda tidak bisa mengelak dan guru Anda membuktikan dengan hal-hal sederhana. Misalnya, ada 1 sapi kemudian ada 1 sapi lagi, sehingga kalau dijumlahkan ada dua sapi. Memang benar dan tentu saja saat itu tAnda tidak ingin bukti secara matematis bukan ? Karena Anda masih kecil, percaya sajalah dan biarkan itu berlalu. Buat apa dipikirkan kalau itu hanya akan memenuhi pikiran dan membuat Anda stress.

Dalam bidang matematika pembuktian suatu teorema adalah hal yang biasa. Pada prinsipnya pembuktian sebuah teorema adalah membuktikan ruas kiri sama dengan ruas kanan jika itu sebuah persamaan dan membuktikan suatu implikasi dimana diketahui antesedennya dan dengan langkah-langkah yang benar, logis dan sistematis sehingga konsekuennya benar. Tambah bingung bukan ?

Ketika masih kuliah pernah saya diajarkan bagaimana membuktikan 1 + 1 = 0 dengan teori himpunan. Tentu saja kali ini saya tidak ingin membuktikan bahwa 1 + 1 =0. Namun, pada kesempatan ini, saya ingin menunjukkan sisi lain pembuktian yang “salah kaprah” (salah dianggap benar) dimana 1 + 1 = 0.  Kok bisa ?
Pembuktian dengan cara sederhana dan tidak berdasar teorema yang sulit-sulit atau menggunakan teori himpunan dan teori bilangan. Anda hanya perlu sedikit pengetahuan:

1. Bahwa i = akar (-1), i : bilangan kompleks
2. Sifat bahwa akar (a x  b) = akar (a) kali akar (b)
Sederhana bukan ? Mari kita lihat buktinya:


Mudah bukan ? Nah, pembuktian di atas  menurut saya adalah pembuktian yang sesat. Meskipun secara logis, sistematis kelihatan benar, namun ternyata ada langkah yang salah. Saya tidak ingin mengajarkan pada Anda sesuatu yang salah atau menjerumuskan Anda, tetapi marilah kita coba untuk melihat sisi lain dari suatu hal, tidak hanya melihat sesuatu dari sudut pandang tertentu.

Selain itu, bukti di atas juga mengajarkan pada kita untuk selalu peka dan kritis terhadap segala sesuatu yang ada disekeliling kita. Tidak hanya menerima begitu saja apa yang sudah terjadi dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan kita.

Hukum Bekerja Sebagai Pegawai Negeri



Sebelum kita memasuki inti permasalahan, ada baiknya kita memahami beberapa point penting berikut:

Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan memberikan kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi pekerjaan tersebut halal.

Demikian ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha 205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ

Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap perdagangan yang baik”. (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar 2/83/1257)

عَنِ الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ  قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Dari Miqdam dari Nabi bahwa beliau bersabda: Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri”. (HR. Bukhari 2076)

Dan juga berdasarkan kaidah berharga “Asal dalam muamalat adalah boleh dan halal”.

Oleh karenanya, apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya akan kita dapati bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti, pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.

Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:

Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.

Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri”. (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi).

Syaikh Masyhur bin Hasan menambahkan: “Dan diantara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, diantaranya:

Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki

Banyaknya korupsi dan suap

Malas dalam bekerja dan kurang perhatian

Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan

Banyaknya sifat nifaq di depan atasan”. (Lihat Al-Muru’ah wa Khowarimuha hal. 193-206).

Bekerja sebagai pegawai negeri -sebagaimana pekerjaan secara umum- diperinci menjadi dua:

Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara-perkara haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan.

Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan perkara-perkara haram seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan sejenisnya, maka hukum kerjanya juga haram, karena itu termasuk tolong-menolong dalam kejelekan yang jelas diharamkan dalam Islam.

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqawalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya . (QS. Al-Maidah: 2)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya. Dan beliau bersabda: Semuanya sama. (HR. Muslim: 1598)

Berbakti Kepada Orang Tua




Jika kamu ingin berhasil di dunia dan akhirat, maka kerjakanlah beberapa pesan sebagai berikut:

Berbicaralah kepada kedua orang tuamu dengan sopan santun, jangan mengucakan “ah” kepada mereka, jangan hardik mereka dan berkatalah kepada mereka dengan ucapan yang baik.

Taati selalu kedua orang tuamu selama tidak dalam maksiat, karena tidak ada ketaatan pada makhluk yang bermaksiat kepada Allah.

Berlemah lembutlah kepada kedua orang tuamu, jangan bermuka masam di depannya, dan janganlah memelototi  mereka dengan marah.

Jaga nama baik, kehormatan dan harta benda kedua orang tua. Dan janganlah mengambil sesuatu pun tanpa seizin keduanya.

Lakukanlah hal-hal yang meringankan keduanya meski tanpa perintah seperti berkhidmat, membelikan beberapa keperluan dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.

Musyawarahkan segala pekerjaanmu dengan orang tua dan mintalah maaf kepada mereka jika terpaksa kamu berselisih pendapat.

Segera penuhi panggilan mereka dengan wajah yang tersenyum sambil berkata : ada apa, bu! atau ada apa, pak!

Hormati kawan dan sanak kerabat mereka ketika mereka masih hidup dan sesudah mati.

Jangan bantah mereka dan jangan persalahkan mereka, tapi usahakan dengan sopan kamu dapat menjelaskan yang benar.

Jangan kau bantah perintah mereka, jangan kamu keraskan suaramu atas mereka, dengarkanlah pembicaraanya, bersopan santunlah terhadap mereka, dan jangan ganggu saudaramu untuk menghormati kedua orang tuamu.

Bangunlah jika kedua orang tuamu masuk ke tempatmu dan  ciumlah kepala mereka.

Bantulah ibumu di rumah dan  jangan terlambat membantu ayahmu di dalam pekerjaannya.

Jangan pergi jika mereka belum memberi izin meski untuk urusan penting, jika terpaksa harus pergi maka mintalah maaf kepada keduanya dan jangan sampai memutuskan surat menyurat dengannya.

jangan masuk ke tempat mereka kecuali setelah memdapat izin terutama pada waktu tidur dan istirahat mereka.

Jangan makan sebelum mereka dan hormatilah mereka dalam makanan dan minuman.

Jangan berbohong dengan mereka dan jangan cela mereka jika mereka berbuat yang tidak menarik anda.
Jangan utamakan isterimu atau anakmu atas mereka. Mintalah restu dan ridho dari mereka sebelum melakukan segala sesuatu, karena ridho Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan mereka.

Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka dan jangan menselonjorkan kedua kakimu dengan congkak di depan mereka.

Jangan congkak terhadap nasib ayahmu meski engkau seorang pegawai besar, dan usahakan tidak pernah mengingkari kebaikan mereka atau menyakiti mereka meski hanya dengan satu kata.

Jangan kikir untuk menginfakkan harta kepada mereka sampai mereka mengadu padamu dan itu merupakan kehinaan bagimu dan itu akan kamu dapatkan balasannya dari anak-anakmu. Apa yang kamu perbuat akan mendapat balasan.

Perbanyak melakukan kunjungan kepada kedua orang tua dan memberi hadiah, sampaikan terima kasih atas pendidikan dan jerih payah keduanya, dan ambillah pelajaran dari anak-anakmu yaitu merasakan beratnya mendidik mereka.

Orang yang paling berhak mendapat penghormatan adalah ibumu, kemudian ayahmu. Ketahuilah bahwa surga ada di bawah talapak kaki ibu.

Usahakan untuk tidak menyakit kedua orang tua dan menjadikan mereka marah sehingga kamu merana di dunia dan akhirat, dan anak-anakmu akan memperlakukan kamu sebagaimana kamu memperlakukan kedua orang tuamu.

Jika meminta sesuatu dari kedua orang tuamu maka berlemah-lembutlah, berterima kasihlah atas pemberian mereka dan maafkan jika menolak permintaanmu serta jangan trelalu banyak meminta agar tidak mengganggu mereka.

Jika kamu sudah mempu mencari rizki maka bekerjalah dan bantulah kedua orang tuamu.

Kedua orang tuamu mempunyai hak atas kamu, dan isterimu mempunyai hak atas kamu, maka berilah hak mereka. Jika keduanya berselisih usahakan kamu pertemukan dan berilah masing-masing hadiah secara diam-diam.

Jika kedua orang tuamu bertengkar dengan isterimu, maka bertindaklah bijaksana, dan beri pengertian kepada isterimu bahwa kamu berpihak padanya jika ia benar, hanya kamu terpaksa harus merupakan penolong yang paling baik.

Jika kamu berselisih dengan kedua orang tua tentang perkawinan dan talak maka kembalikan pada hukum Islam karena hal itu merupakan penolong yang paling baik.

Do’a orang tua untuk kebaikan dan kejelekan diterima Allah, maka hati-hatilah terhadap do’a dari kejelekan mereka .

Bersopan santunlah dengan orang, karena barangsiapa mencela orang tua seseorang maka orang tadi akan mencaci orang tuanya. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda :

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلً وَالِدَيْهِ يَسُبُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُ أَبَاهُ  وَ يَسُبُ أُمَّهُ فَيَسُبُ أُمَّهُ

“Diantara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya; mencaci ayah orang maka ia mencaci ayahnya sendiri, mencaci lbu orang maka ia mencaci ibunya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kunjungilah kedua orang tuamu ketika masih hidup dan sesudah matinya, bersedekahlah atas nama mereka dan perbanyaklah do’a untuknya sambil berkata :

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ، رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

"Ya Rabb ampunilah aku dan kedua ibu bapakku, ya Rabb sayangilah keduanya sebagaimana keduanyanya memeliharaku waktu kecil”.

Bagaimana Mendidik Anak-anak Kita?




Allah Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS: At-Tahrim: 6).

Ibu, Bapak dan Guru bertanggungjawab di depan Allah terhadap pendidikan generasi muda. Jika pendidikan mereka baik, maka berbahagialah generasi tersebut di dunia dan akhirat. Tapi jika mereka mengabaikan pendidikannya maka sengsaralah generasi tersebut, dan beban dosanya berada pada leher mereka. Untuk itu disebutkan dalam suatu hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (Muttafaq alaih).

Maka adalah merupakan kabar gembira bagi seorang guru, sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم:

فَوَ اللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً واحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعِمَ

“Demi Allah, bahwa petunjuk yang diberikan Allah kepada seseorang melalui kamu lebih baik bagimu dari pada unta merah (kekayaan yang banyak).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan juga merupakan kabar gembira bagi kedua orang tua, sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم berikut ini :

إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَملُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أوْ وَلدٍ صَالـِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, atau ilmu yang berrrmanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).

Maka seorang pendidik hendaknya melakukan perbaikan dirinya terlebih dahulu, karena perbuatan baik bagi anak-anak adalah yang dikerjakan oleh pendidik dan perbuatan jelek bagi anak-anak adalah yang ditinggalkan oleh pendidik. Sesungguhnya tingkah laku guru dan kedua orang tua yang baik di depan anak-anak merupakan pendidikan yang paling utama bagi mereka.

Melatih anak-anak untuk mengucapkan kalimat syahadat لَاَإِلَهَ إِ لاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ dan menjelaskan maknanya ketika mereka sudah besar.
Menanamkan rasa cinta dan iman kepada Allah dalam hati mereka, karena Allah adalah pencipta, pemberi rizki dan penolong satu-satuya tanpa ada sekutu bagiNya.
Memberi kabar gembira kepada mereka dengan janji surga, bahwa surga akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan shalat, puasa, mentaati kedua orang tua dan berbuat amalan yang diridhai oleh Allah, serta menakuti mereka dengan neraka, bahwa neraka diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan shalat, menyakiti orang tua, membenci Allah, melakukan hukum selain hukum Allah dan memakan harta orang dengan menipu, membohongi, riba dan lain sebagainya.
Mengajarkan anak-anak untuk meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, sebagaimana sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم kepada anak pamannya :

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Jika kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan mohonlah kepada Allah.” (HR. Turmudzi dan Turmudzi berkata Hadits ini Hasan Shahih)

Tata Cara Shalat Orang Sakit




Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telentang, sebagaimana sabda Nabi صلي الله عليه وسلم kepada `Imran bin Hushain:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring” (HR. Bukhari).Dan Imam An-Nasa’i menambahkan:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا.

“... lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang”

Dan barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat; karena firman Allah سبحانه و تعالي:

وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ

“...Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’” (Al-Baqarah: 238).

Dan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :

صَلِّ قَائِمًا

“Shalatlah kamu sambil berdiri”.

Dan juga firman Allah سبحانه و تعالي :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (At-Taghabun: 16).

Dan jika pada matanya terdapat penyakit, sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan: “Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu”, maka boleh shalat telentang.

Barangsiapa tidak mampu ruku` dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`.
Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.

Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih mendekati tanah semampunya.

Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal), karena dalil-dalil tersebut di atas.

Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.

Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم :

"مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا مَتَى ذَكَرَهَا ، وَلاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ". وَتلاَ قَوْلَهُ؛ وَأَقِمِ الصلاة لِذِكْرِى

“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”. Lalu beliau membaca firman Allah: “dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu”. (Thaha: 14).

Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia”.

Dan sabdanya:

رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

“Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah”

Begitu pula sabda beliau صلي الله عليه وسلم :

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seseorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).

Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagaimana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.

Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.
Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.

Aku memohon kepada Allah سبحانه و تعالي semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَأَتْبَاعِهِ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia:

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Dimanakah Isa AI Masih Wafat dan Dimakamkan?





Isa Al Masih tidak meninggal di kayu salib. Beliau hanya pernah mengalami bahaya penyaliban namun akhirnya diselamatkan oleh Allah dengan cara diserupakan kondisinya sebagai orang mati dengan cara pingsan. Jadi Isa Al Masih tidak meninggal disalib melainkan selamat dan tetap hidup, bahkan sampai usia lanjut.
Keterangan bahwa kehidupan Isa Al Masih berlanjut sampai usia lanjut dapat kita baca dari keterangan Al-Qur'an surat Ali Imran/3:46.

"Dia dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan ketika sesudah dewasa."
 
Kamus Bahasa Arab "Munjid fil Lughati wal Adabi" mengartikan "kahlan" sebagai "man kaanat sinnu 'umrihi bainal tsalatsina wal khamsina taqriban" (seorang yang berusia kurang 30-50 tahun).
Al Imam Raghib, seperti dikutib Saleh A. Nahdi (Bibel dalam Timbangan, PT Arista Brahmatyasa, 1994, h. 20) mengatakan bahwa "kahlan" sebagai "man wakhatahu syaib" (orang yang rambutnya bercampur dengan yang putih karena usianya yang lanjut).
Adapun bukti-bukti sejarah bahwa Isa Al Masih hidup sampai usia lanjut, diantaranya:
  1. Dalam usia lanjut yang dimulai antara 40-50 tahun, Yesus masih memberikan pengajaran. Masa hidup tadi disaksikan bukan saja oleh para penginjil melainkan juga oleh semua pemimpin-pemimpin gereja yang datang ke Asia bersama Yahya yang menyampaikan riwayat itu kepada pemimpin-pemimpin gereja adalah Yahya sendiri (C.R. Gregory, Canon and the New Testament).
  2. James Moffat: Pemuda-pemuda gereja di Asia percaya kematian Yesus itu terjadi di zaman Kladius tahun 41-50. Papias sendiri mengatakan bahwa pada usia tersebut Yesus masih mengajar.
Pertanyaan selanjutnya adalah, dimanakah beliau menjalani masa-masa kehidupannya sampai usia lanjut dan dimakamkan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita dapatkan dari penjelasan Al-Qur'an surat Al Mu'minun/23:50:

"Dan kami telah jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata hagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir ".

Dimanakah tempat yang oleh ayat ini disebut "suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir"?
Seperti dikutip H.M. Josoef Sou'yb (Isa Al Masih Sudah Mati?, PT Al Husna Zikra, 1994, Cet. 1, h. 20-26), di antara para pakar merujuk bahwa tempat itu adalah dataran tinggi pada bukit sebelah Barat Laut Mati, Palestina, yaitu biara tempat kediaman sekte Esenes. Tempat ini dikenal dengan Bukit Qumran.
"Pada dataran deretan bukit batu yang membujur di sebelah Barat Laut Mati itu terdapat suatu dataran luas ... pada dataran itu menonjol sekelumit runtuhan dinding tembok."
"Pere de Vaux dengan stafnya, demikian Edmund Wilson di dalam bukunya Dead Sea Scrolls edisi 1956 H. 55-71, yang melakukan penggalian dan menemukan reruntuhan suatu biara besar denga ruangan-ruangan yang luas. Di bawahnya dijumpai pttla enam saluran air tapi kini sudah kering."
"Diantara biara besar pada dataran tinggi itu dengan pinggir Laut Mati, demikian Edmund Wilson, tampak terdapat lebih seribu kuburan .... Di antara seluruh kuburan yang digali itu maka hanya ada satu jenazah saja yang punya "keistimewaan" yaitu memakai keranda. Dan diantara seluruh jenarah itu terdapat jenazah seorang wanita (ingat, penghuni biara/bukit Qumran hanya kaum laki-laki."
Satu jenazah yang mempunyai keis­timewaan dengan keranda dan satu je­nazah seorang wanita itu tidak lain adalah jenazah Isa Al Masih dan ibundanya Siti Maryam yang hidup dan meninggal serta dimakamkan dibukit Qumran.
Mengapa data-data penting ini terkesan tidak banyak diungkap. Mudah menjawabnya. Karena ada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan soal ini. Hal ini, misalnya dapat kita cermati dari fenomena naskah Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls), yang terletak di gua Qumran, sekitar 10 mil sebelah Timur Yerussalem yang menyimpan sekitar 800 macam fragmen dokumen yang ditulis sekitar tahun 200 S.M. sampai tahun 50 M dalam bahasa Ibrani, Yunani, dan Aram (bahasa sehari-hari yang dipakai Yesus), di antaranya terdapat 127 dokumen ayat-ayat Bibel juga kitab suci Apokriba (kitab yang tidak boleh dibaca oleh umat Kristen). Sejak penemuannya pada tahun 1947 oleh seorang gembala domba Badui sampai selama empat dekade berikutnya, banyak rahasia gulungan yang disembunyikan oleh kelompok kecil sarjana yang menguasai dokumen tersebut. Namun penyembunyian itu berakhir bulan September 1991, ketika sebuah lembaga penelitian di California yang menyimpan empat set fotografi koleksi Dead Sea Scrolls, mulai mengizinkan para sarjana yang berkepentingan untuk menelitinya. Bahkan komentar Frank M. Cross, editor naskah Gulungan Laut Mati dan seorang pakar bahasa Ibrani dan Barat di Harvard university, memperingatkan bahwa akses tanpa batas pada naskah gulungan itu akan membongkar misteri yang aneh di sekitar Al Kitab, seperti kitab Tobit, Sirakh dan Yobel (yang apokripa bagi pemeluk Katolik dan Protestan) (Dr. Muhammad Ataur Rahim, Misteri Yesus daktrn sejaralt, Pustaka Da'I, 1994).

Teman yang Jelek




Menyenangkan sekali jika punya teman yang bisa membantu kita dalam taqarrub (pendekatan diri) dan ketaatan kepada Allah سبحانه و تعالى. Sehingga ketika kita melayani dan membantunya juga akan dengan senang hati. Akan tetapi, sangat merugi jika teman atau sahabat yang kita layani dan kita bantu adalah orang yang jelek, tidak bisa membantu semakin dekat kepada Allah dan juga tidak berguna untuk kebaikan dunia. Maka hendaknya teman seperti ini ditinggalkan. Buktinya, dalam memilih istri saja kita diperintah mencari istri yang baik yang dapat membantu dalam perkara dunia dan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَزَوْجَةٌ صَالِحَةٌ تُعِيْنُكَ عَلَى أَمْرِ دُنْيَاكَ وَدِيْنِكَ خَيْرٌ مَااكْتَنَزَ النَّاسُ
"Istri yang shalihah yang membantumu dalam perkara duniamu dan agamamu adalah sebaik-baiknya simpanan yang dimiliki manusia."1
Oleh karena itu, wahai saudaraku, jauhilah teman atau siapa pun yang jelek yang tidak bermanfaat untuk kebaikan dunia dan akhirat kita.

Kamis, 30 Mei 2013

Contoh-contoh Kemusyrikan (Imam Syafi'i)



Para ulama madzhab Imam Syafii memperingatkan akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafii dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, seperti berdoa dan minta tolong kepada selain Allah, bersujud  kepada selain Allah, ruku kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, keyakinan bahwa seseorang  itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut selain Allah”, menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu” , dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang”.

Imam Syafii mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi Kabah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudi-an ia melanggar sumpahnya itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).

Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah . Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.”

Kami diberitahu Ibnu Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari Ayah-nya, kata ayahnya, “Nabi mendengar Umar ber-sumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”

Kata Imam Syafii selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.

Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh  tujuh adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti mengagungkan dengan cara beribadah dan sujud.”

Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan “Menurut ulama penerus madzhab Syafii, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad”, atau Muhammad Rasulullah atau Muhammad. Demikian pula apabila seorang kafir kitabi (Yahudi dan Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula orang muslim menyembelih hewan untuk Kabah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.”

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafii mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar  tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.

Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu, tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersandaran pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang,  atau tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang hilang bisa kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.

Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan banyak di makam Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksud lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.”

Imam Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang bernadzar untuk  berjalan kaki menuju ke masjid  selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan menurut madzhab Syafii, nadzar tersebut tidak sah.”

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar al-Makki mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut “Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan na-ma Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.

Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan.

Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafii berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak  boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain, Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.

Banyak pelaku bidah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk memasang  gordyn (kelambu) dan membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.

Sementara orang-orang Syiah dari India dan Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala, Khurasan, dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.

Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus minta ampun kepada Allah, bertaubat, membaca kalimat shahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.

Orang yang mewakafkan kebun atau binatang untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk kita dan mereka.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran. Mereka tidak punya tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.

Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits  riwayat Tsabit adh-Dhahhak, katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi , “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar yang berunsur maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.” 

Syirik adalah Kezhaliman yang Terbesar



Allah berfirman:

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim”        (QS: Al-Baqarah: 254)

Allah berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya kemusyrikan itu adalah kezhaliman yang besar.” (QS: Luqman: 13)

Mana ada kezhaliman yang lebih besar daripada sikap seseorang yang diciptakan oleh Allah, tetapi justru ia menyembah selain Allah? Atau ada orang  diberi rizki oleh Allah, tetapi justru berterima kasih kepada selain Allah.

Zhalim seperti ini adalah menzhalimi diri sendiri, karena ia menjadi terhalang untuk memperoleh kesenangan, kenikmatan dan kehidupan hatinya dari buah tauhid. Sementara di sisi lain, dirinya sendiri dibebani  dengan siksaan yang sebenarnya ia tidak mampu memikulnya.

Syirik Menutut Imam Syafi’i


Beliau mengatakan,  Allah  menceritakan tentang hamba-Nya yang bernama Lukman al-Hakim, beliau berkata kepada putranya:

لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menyekutukan Allah dengan yang lain, karena syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.”  (QS: Luqman: 13)

Syirik adalah kamu membuat sekutu bagi Allah dalam ketuhanan-Nya (Rububiah-Nya). Maha Luhur Allah dari sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan. Makna ( لا تشرك)  dengan memakai huruf ba dalam (بالله) adalah : “kamu jangan menyepadankan Allah dengan yang lain sehingga yang lain itu kemudian kamu jadikan sekutu (kawan) bagi Allah. Begitu pula dalam firman-Nya:

بِمَا أَشْرَكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً

“… karena mereka menyekutukan  Allah (dengan yang lain) yang Alloh sendiri tidak menurunkan hujjah untuk mempersekutukan-Nya.” (QS: Ali Imran: 151)

Maka isyrak (menyekutukan) dalam ayat itu adalah menyepadankan Allah dengan yang lain. Dan siapa yang menyepadankan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah musyrik, karena Allah itu satu, tidak ada sekutu, tidak ada tandingan maupun bandingan-Nya.” 

Biografi Imam Ahmad bin Hambal



Nama dan Nasab:
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi dai yang kritis.

Kelahiran Beliau:
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabiul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Quran hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau:
Muhammad bin Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain.
Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga beliau:
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau:
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zurah pernah ditanya, “Wahai Abu Zurah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zurah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama terhadap beliau:
Abu Jafar mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.
Imam Asy-Syafii berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Quran, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

Kezuhudannya:
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus rakaat, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh rakaat.

Wara dan menjaga harga diri
Abu Ismail At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu dengan kebaikannya:
Yahya bin Main berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.
Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.

Hati-hati dalam berfatwa:
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.
Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.

Masa Fitnah:
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebidahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Mamun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Quran makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Quran makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Quran Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafii serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syubah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
  1. Ismail bin Jafar
  2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
  3. Umari bin Abdillah bin Khalid
  4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
  5. Imam Asy-Syafii.
  6. Waki bin Jarrah.
  7. Ismail bin Ulayyah.
  8. Sufyan bin Uyainah
  9. Abdurrazaq
  10. Ibrahim bin Maqil.
Murid-murid Beliau:
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
  1. Imam Bukhari.
  2. Muslim
  3. Abu Daud
  4. Nasai
  5. Tirmidzi
  6. Ibnu Majah
  7. Imam Asy-Syafii. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
  8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
  9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
  10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq, dan lain-lainnya.
Wafat beliau:
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jumat bertepatan dengan tanggal dua belas Rabiul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya:
  1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
  2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
  3. Kitab Az-Zuhud
  4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
  5. Kitab Jawabatul Quran
  6. Kitab Al Imaan
  7. Kitab Ar-Radd alal Jahmiyyah
  8. Kitab Al Asyribah
  9. Kitab Al Faraidh
Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya.

Biografi Imam Abu Hanifah




Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-Imam Abu Hanifah Numan bin Tsabit bin Zauthi at-Taimi Maula Bani Taim bin TsaTabah. Be­liau aslinya adalah keturunan bangsa Parsi.

Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada ta­hun 80 H di Kufah.

Sifat-sifat Beliau
Beliau berwajah tampan, selalu berpakaian rapi, selalu berbau harum, berperawakan sedang, fasih dalam bicaranya, dan merdu suaranya. Beliau ti­dak berbicara kecuali jika men­jawab, dan tidak bicara kecuali pada hal-hal yang perlu.
Beliau masyhur dengan ke­cerdasannya, keberaniannya, kewarasannya, kelembutan­nya, dan kedermawanannya.
Pertumbuhan dan Guru-guru Beliau
Ketika masih kecil beliau dibawa oleh ayahandanya, Tsabit bin Zauthi, ke tempat Ali bin Abu Thalib maka Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه mendoakan berkah kepada beliau dan ke­turunan beliau.
Beliau pernah melihat Anas bin Malik رضي الله عنه ketika datang ke Kufah, hanya saja tidak pernah meriwayatkan satu pun hadits dari Anas maupun yang lain­nya dari kalangan sahabat.
Di antara guru-guru be­liau adalah Atha bin Abu Rabah yang merupakan yang paling tua dari guru-guru be­liau dan paling afdhal, asy-Syabi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz, Amr bin Dinar, Thalhah bin Nafi, Nafi Maula Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Aun bin Abdullah bin Utbah, Qasim bin Abdurrah­man bin Abdullah bin Masud, Muharib bin Ditsar, Abdullah bin Dinar, Hakam bin Utaibah, Alqamah bin Martsad, Ali bin Aqmar, Abdul Aziz bin Rafi, Athiyah al-Aufi, Hammad bin Abu Sulaiman yang beliau banyak belajar fiqh kepadanya, Ziyad bin Ilaqah, Salamah bin Kuhail, Ashim bin Kulaib, Si­mak bin Harb, Ashim bin Bah-dalah, Sa'id bin Masruq, Abdul Malik bin Umair, Abu Javfar al-Baqir, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muhammad bin Munkadir, Abu Ishaq as-Sabfi, Malik bin Anas yang lebih muda dari be­liau, dan yang lainnya.
Beliau begitu memper­hatikan hadits hingga beliau menempuh perjalanan untuk mencarinya. Adapun dalam masalah fiqh dan kerumitan logika, beliau mencapai puncak ilmunya sehingga kaum mus­limin banyak yang mengambil ilmu tersebut dari beliau.

Murid-murid Beliau
Di antara murid-murid be­liau adalah putranya sendiri Hammad bin Abu Hanifah, Ibrahim bin Thahman, Asbath bin Muhammad, Ishaq al-Azraq, Asad bin Amr al-Bajali, Ismail bin Yahya ash-Shairafi, Ayyub bin Hani, Hamzah az-Zayyat yang satu thabaqah dengan beliau, Abu Ashim an-Nabil, Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abu Yusuf al-Qadhi, dan yang lainnya.
Pujian Para Ulama Ke­pada Beliau
Yahya bin Mavin berkata: "Abu Hanifah tsiqah dalam masalah hadits."
Ali bin Madini berkata: "Abu Hanifah tsiqah la ba'sa bihi."
Abdullah bin Mubarak berkata: "Seandainya Alloh ti­dak menolongku dengan sebab Abu Hanifah dan Sufyan maka sungguh aku akan seperti ma­nusia pada umumnya."
Beliau juga berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berwibawa di majlisnya, lebih bagus sifatnya, dan lebih lembut dibanding Abu Hanifah."
Beliau juga berkata: "Abu Hanifah adalah yang paling faqih di antara manusia."
Qasim bin Ma'n berkata: "Tidak ada majelis yang lebih bermanfaat daripada majelis Abu Hanifah."
Asy-Syafii berkata: "Di­katakan kepada Malik: Apak­ah engkau pernah melihat Abu Hanifah?" Malik menjawab: 'Ya, aku melihat seorang laki-laki yang seandainya engkau bicara dengannya agar menja­dikan tiang ini menjadi emas maka sungguh dia akan men­egakkan hujjahnya."
Abu Muawiyah adh-Dharir berkata: "Kecintaan ke­pada Abu Hanifah termasuk sunnah."
Al-Kharibi berkata: "Ti­daklah mencela Abu Hanifah kecuali orang yang hasad atau orang yang jahil."
Ali bin Ashim berkata: "Se­andainya ilmu Abu Hanifah ditimbang dengan ilmu orang-orang sezamannya pasti lebih berat ilmu Abu Hanifah."
Hafsh bin Ghiyats ber­kata: "Perkataan Abu Hani­fah dalam masalah fiqh lebih lembut dibandingkan dengan syair dan tidak mencelanya kecuali orang yang jahil."
Diriwayatkan bahwasanya Amasy ditanya suatu per­masalahan maka dia berkata: "Sesungguhnya yang bisa menjawab ini adalah Numan bin Tsabit al-Khazzaz dan aku menduga bahwa dia diberkahi ilmunya.”
Hasan bin Shabbah ber­kata: "Nu'man bin Tsabit menurut pengetahuan kami sangat berhati-hati dalam me­nerima khabar, dan jika telah shahih menurutnya khabar dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dia tidak melampauinya kepada yang lainnya."
Abu Dawud berkata: "Se­sungguhnya Abu Hanifah adalah seorang imam, Malik adalah seorang imam, dan asy-Syafii adalah seorang imam."
Kritikan Para Ulama Kepada Beliau
Para ahli hadits membi­carakan beliau karena beliau banyak menggeluti rayi dan qiyas.
Ibnu Abdil Barr berkata: " Orang-orang yang meriwayat­kan dari Abu Hanifah, mentsiqahkannya, dan memujinya lebih banyak daripada orang-orang yang mengkritiknya."
Kezuhudan Beliau
Beliau pernah diminta oleh Ibnu Hubairah untuk menjadi qadhi tetapi beliau enggan meskipun beliau dipukul agar mau menjadi qadhi.
Mutsanna bin Raja" ber­kata: "Abu Hanifah jika ber­sumpah atas nama Alloh bershadaqah satu dinar, dan jika memberikan nafkah kepada keluarganya beliau bershadaqah dengan jumlah yang semisalnya."

Ibadah Beliau
Asad bin Amr berkata: "Abu Hanifah shalat Isya" dan Shubuh dengan sekali wudhu" selama 40 tahun.
Abu Yusuf berkata: "Abu Hanifah selalu menghidup­kan malam dengan shalat dan do"a."
Di Antara Perkataan-perkataan Beliau
Abu Hanifah berkata: "Semua yang datang dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم maka kami terima semuanya, dan apa yang datang dari para sahabat kami memilihnya, dan apa yang selain itu maka mereka laki-laki dan kami laki-laki."
Beliau berkata: "Kencing di dalam masjid lebih baik dar­ipada sebagian qiyas."
Beliau berkata: "Tidak se­layaknya seseorang menyam­paikan hadits kecuali dengan yang dia hafal ketika dia men­dengarkan hadits tersebut dari gurunya."
Beliau berkata: "Semoga Alloh melaknat Amr bin Ubaid karena dialah yang membuka pintu ilmu kalam kepada ma­nusia."
Beliau berkata: "Semoga Alloh membinasakan Jahm bin Shafwan dan Muqatil bin Sulaiman, yang ini berlebihan dalam menafikan sifat dan yang itu berlebihan dalam tasybih."
Beliau berkata: "Tidak ha­lal atas seorang pun mengam­bil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya."
Beliau berkata: "Orang yang tidak tahu dalilku haram atasnya berfatwa dengan per­kataanku."
Beliau berkata: "Jika hadits itu shahih maka dia adalah madzhabku."
Beliau berkata: "Sesung­guhnya kami adalah manusia, kami mengatakan suatu per­kataan hari ini kemudian be­soknya kami rujuk."
Beliau berkata: "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, maka tinggalkanlah perkata­anku.

Pemikiran Irja' Beliau
Beliau dengan imamah be­liau dan kegigihan beliau un­tuk ittiba kepada dalil tidak lepas dari kekurangan dan ke­salahan layaknya seorang ma­nusia yang tidak mashum.
Telah masyhur dari beliau pemikiran Irja yaitu bahwa be­liau memandang bahwa Iman adalah pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lisan, dan bahwasanya amal­an tidak masuk dalam definisi Iman.
Hal ini menyelisihi kes­epakatan para ulama salaf bah­wasanya Iman adalah pem­benaran dengan hati, perkata­an, dan perbuatan sebagaima­na didukung dengan banyak sekali dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah.
Abu Abdurrahman al-Muqri berkata: "Abu Hanifah demi Alloh adalah seorang murjiah, dia menyeruku ke­pada Irja' tetapi aku enggan." (as-Sunnah, Abdullah bin Ah­mad, 1/223)
Yahya bin Main berkata: "Abu Hanifah adalah seorang murjiah dan dia termasuk pe­nyeru." (as-Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 1/226)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa al-Imam Abu Hanifah terpen­garuh oleh guru beliau Hammad bin Abu Sulaiman yang mengatakan amalan tidak ter­masuk dalam penamaan Iman, dan bahwa Hammad bin Abu Sulaiman dalam masalah ini menyelisihi guru-gurunya sep­erti Ibrahim an-Nakhai dan yang lainnya yang begitu keras di dalam melawan Irja (Majmu Fatawa 7/119)
Hanya saja telah datang be­berapa riwayat dari beliau yang mengisyaratkan bahwasanya beliau telah rujuk (bertaubat) dari pemikiran murjiah seba­gaimana riwayat dari Ibnu Abdil Barr dengan sanadnya dari Hammad bin Zaid bahwasanya dia telah rujuk dan meninggal­kan pemikiran Irja'nya.
Kemudian Hammad bin Zaid membawakan riwayat hadits "Manakah Islam yang lebih afdhal?..." dan berkata kepa­da Abu Hanifah: "Tidakkah engkau melihat bahwasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم ketika ditanya manakah Islam yang lebih utama maka Rasulullah صلي الله عليه وسلم men­jawab: Iman, kemudian beliau menjadikan hijrah dan jihad termasuk Iman?" Maka terdi­amlah Abu Hanifah dan ber­kata sebagian sahabat beliau kepada beliau: "Tidakkah eng­kau menjawabnya wahai Abu Hanifah?" Abu Hanifah ber­kata: "Aku tidak menjawabnya karena dia membawakan hal ini dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم." (at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr, 9/247).
Inilah sikap Abu Hanifah dan para imam terhadap nash syari: selalu menerima, ridha, dan pasrah dengan sempurna terhadap dalil; tidak seperti perilaku para pendewa akal sekarang yang begitu lancang dan berani terhadap nash-nash dari Alloh dan Rasul-Nya!

Cobaan Beliau
Bisyr bin Walid berkata: "Khalifah al-Manshur memin­ta Abu Hanifah agar menjadi Qadhi Negara sampai-sampai al-Manshur bersumpah bah­wa Abu Hanifah harus me­nerima jabatan tersebut, maka Abu Hanifah juga bersump­ah bahwa beliau tidak akan mau menerimanya, berkata­lah Rabi  pengawal Khalifah: 'Bagaimana Amirul Mukminin bersumpah dalam keadaan engkau bersumpah?! Abu Hanifah berkata: 'Amirul Muk­minin lebih mampu membayar kafarah sumpahnya daripada-ku." Maka beliau dijebloskan ke penjara hingga beliau meninggal dunia."
Wafat Beliau
Al-Imam Abu Hanifah wafat di Baghdad pada bulan Sya'ban tahun 150 H dalam usia 70 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempat­kannya dalam keluasan jannah-Nya.
Wallohu A'lam bish shawab.

Rujukan
Tarikh Baghdad oleh al-Khathib al-Baghdadi (13/323-454), Siyar A'lamin Nubala' oleh adz-Dzahabi (6/390-403), dan Thabaqah Hanafiyah (1/26-32) oleh Abdul Qadir bin Abil Wafa' al-Qurasyi.