Banyak
lagi permasalahan-permasalahan lainnya yang terkait dengan pemahaman orang-orang
Kristen tentang Yesus, sifat-sifatnya dan hubungannya dengan Tuhan. Dari
penelaahan kritis dan analitis terhadap ajaran Kristen, yang tampil ialah adanya
"Anak Tuhan" yang memiliki sifat-sifat sebagai seorang manusia sempurna dan juga
sebagai suatu tuhan sempurna. Walau bagaimana pun, hendaknya diingat, menurut
ajaran Kristen, Tuhan-Bapak tidaklah sama sepenuhnya dengan Tuhan-Anak.
Tuhan-Bapak adalah suatu Tuhan sempurna dan bukan seorang manusia sempurna,
sedangkan Tuhan-Anak merupakan seorang manusia sempurna dan juga Tuhan sempurna.
Dalam kasus ini terdapat dua kepribadian yang terpisah dengan sifat-sifat yang
berbeda.
Harus disadari,
bahwa sifat-sifat ini. tidak dapat dipindahkan. Memang ada sifat-sifat pada
zat-zat tertentu yang dapat dipindahkan. Misalnya, air dapat menjadi salju dan
juga menguap, tanpa menimbulkan suatu perubahan dalam zat atau susunan air itu.
Namun perbedaan-perbedaan dalam sifat-sifat Tuhan dan Kristus, di mana
sifat-sifat tertentu telah ditambahkan kepada salah satu di antara mereka,
tidaklah dapat didamaikan/disatukan. Tidaklah mungkin bagi salah satu di antara
mereka untuk mengalami perubahan ini dan masih tetap tidak dapat dibedakan dari
yang lainnya. Hal ini kembali menjadi suatu permasalahan, dan suatu persoalan
serius bagi perkara tersebut, yakni apakah Yesus Kristus merupakan suatu tuhan
sempurna sebagaimana dia merupakan seorang manusia sempurna? Jika dia memiliki
kedua sifat tersebut secara bersamaan, maka dia pasti berbeda dari Tuhan-Bapak
yang bukan seorang manusia sempurna dan bukan pula sesuatu yang tidak sempuma.
Hubungan macam apa namanya ini? Apakah "Tuhan-Anak" lebih agung daripada
"Tuhan-Bapak"? Jika sifat tambahan itu tidak membuat "Tuhan
Anak"
lebih agung, berarti itu merupakan suatu cacat. Dalam kondisi demikian seorang
"Anak-Tuhan" yang cacat tidak hanya bertentangan dengan pengakuan-pengakuan
ajaran Kristen, tetapi juga bertentangan dengan pemahaman universal tentang
Tuhan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang memahami ajaran Kristen yang saling
bertentangan itu yang membuat kita percaya, bahwa "Satu dalam Tiga" dan "Tiga
dalam Satu" adalah sama, dan tidak memiliki perbedaan apa pun? Hal ini hanya
akan dapat terjadi, apabila pondasi dasar suatu kepercayaan dibangun, tidak di
atas landasan kenyataan, melainkan di atas dongeng belaka.
Selain
itu ada permasalahan lain lagi yang harus dipecahkan: Apabila Yesus telah
menjadi "Anak Tuhan" sebagai dampak kelahirannya melalui rahim Maryam, maka apa
pula kedudukan Yesus sebelum itu? Jika Yesus secara azali (sejak sebelumnya)
sudah merupakan "Tuhan Anak" tanpa harus dilahirkan oleh Maryam, maka kenapa dia
harus dilahirkan dalam bentuk manusia? Jika hal itu memang harus, berarti nilai
kedudukannya sebagai "Tuhan Anak" tidaklah azali; hal itu hanya merupakan sifat
tambahan setelah Yesus dilahirkan, dan hal itu lenyap ketika beliau meninggalkan
tubuh beliau lalu kembali ke surga. Jadi, banyak sekali kerumitan timbul
dari.kepercayaan itu, yang ditolak oleh akal sehat. Saya kembali mengajak anda
untuk menerima sebuah skenario yang jauh lebih mulia dan realistis; yaitu
mempercayai kelahiran Yesus Kristus sebagai suatu penciptaan istimewa yang
dilakukan Tuhan, yang telah mengaktifkan beberapa hukum alam yang terselubung.
Yesus adalah anak kiasan Tuhan, Yang Dia cintai dalam suatu corak khusus, tetapi
tetap sebagai seorang manusia sepenuhnya. Kedudukan beliau sebagai "Tuhan Anak"
telah dibubuhkan pada sifat beliau sekitar 300 tahun kemudian, untuk tetap
menghidupkan legenda tentang beliau – hal ini akan dibahas belakangan.
Bentuk
hubungan perkawinan antara Tuhan Bapak dengan Maryam adalah suatu masalah yang
orang enggan membicarakannya secara terang terangan. Walaupun demikian suatu
upaya untuk memahami peran Maryam sebagai perantara antara Tuhan Bapak dengan
Tuhan Anak, adalah suatu momok yang tidak dapat dihindari. Mungkin pertanyaan
yang sama inilah yang telah mengganggu Nietzsche sedemikian rupa sehingga dia
mengungkapkan ketidak-puasannya, paling tidak, dalam katakata sebagai berikut:
Akan
tetapi tidak lama setelah Zarathustra membebaskan dirinya dari tukang sihir, dia
kembali melihat seseorang duduk di sisi jalan yang dia lalui: jangkung, berkulit
hitam dengan wajah pucat dan cekung; orang itu membuatnya kesal. ‘Aduh', dia
katakan pada hatinya, penderitaan terselubung menghadang di situ, dia tampaknya
semacam pendeta: apa yang mereka inginkan dalam kerajaanku?'... 'Siapa pun
engkau wahai pengelana,' dia berkata, 'tolonglah orang yang tersesat, orang tua
yang mungkin dapat mencelakakan di sini!' Dunia di sini aneh dan jauh bagi saya,
dan saya mendengar gonggongan binatang-binatang buas; dan orang yang dapat
memberikan perlindungan pada saya sudah tidak ada lagi. Saya mencari orang saleh
terakhir, seorang suci dan petapa, yang tinggal sendirian di hutan dan belum
mendengar apa pun yang diketahui oleh seluruh dunia masa kini. Apa yang
diketahui seluruh dunia masa kini? Tanya Zarathustra. Mungkin ini: bahwa Tuhan
kuno yang pernah diimani oleh seluruh dunia, sudah tidak hidup lagi? Itulah
tampaknya, jawab si orang tua dengan sedih. Dan saya telah mengkhidmati Tuhan
kuno itu hingga saat-saat akhir-Nya. Akan tetapi sekarang, saya berhenti
mengkhidmati, tanpa majikan, dan kendatipun demikian saya belum juga bebas,
tidak pula saya gembira walau untuk satu jam, kecuali dalam kenangan. Itulah
sebabnya saya mendaki gunung-gunung ini, supaya saya dapat paling tidak
merayakannya satu kali lagi, sebagaimana saya telah menjadi seorang biarawan tua
dan tetua gereja: supaya diketahui, saya adalah biarawan terakhir! - suatu
perayaan bagi kenangan-kenangan suci dan pengkhidmatan-pengkhidmatan samawi.
Namun kini dia sendiri sudah mati, orang yang paling saleh, si orang suci di
tengah hutan yang selalu secara rutin menyanjung Tuhan-nya dengan nyanyian dan
komat-kamit.' Ketika aku menemukan gubuknya aku tidak mendapatkannya lagi,
tetapi aku menemukan dua ekor serigala dalamnya, menggonggongi kematiannya —
sebab seluruh binatang mencintainya. Kemudian saya cepat-cepat pergi.' Apakah
sia-sia saja saya datang ke hutan belantara dan gunung-gunung ini? Kemudian
kalbuku memutuskan untuk mencari yang lain, yang paling saleh dari segenap orang
yang tidak mempercayai Tuhan — untuk mencari Zarathustra! Demikianlah kata orang
tua itu dan menatap dengan pandangan yang menembus ke arahnya, yang berdiri di
hadapannya; Zarathustra kemudian mengambil tangan biarawan tua itu dan
memperhatikannya cukup lama dengan kagum.' Lihat, wahai orang mulia, katanya
kemudian, Betapa panjang dan indahnya tangan ini! Ini adalah tangan yang selalu
membagi berkat-berkat. Namun, sekarang tangan ini sedang memegang dengan erat
orang yang dicarinya, aku, Zarathustra.' Ini aku, Zarathustra yang tak bertuhan,
orang sama yang mengatakan: Siapa yang lebih tak bertuhan daripadaku, sehingga
aku akan gembira dalam ajarannya?' Demikianlah Zarathustra berkata dan dengan
pandangannya menembus pemikiran-pemikiran serta keberatan-keberatan biarawan tua
itu. Akhirnya yang berikut pun mulai: Orang yang paling banyak mencintai dan
memilikinya, dia pulalah yang paling banyak kehilangannya:' Lihat, tidakkah diri
saya sendiri lebih tidak bertuhan di antara kita sekarang? Namun, siapa pula
yang bisa gembira dalam hal itu!' Engkau mengkhidmatinya sampai akhir,' tanya
Zarathustra dengan penuh renungan, setelah suatu keheningan mendalam, ‘Apakah
engkau tahu bagaimana dia mati? Apakah benar yang mereka katakan bahwa rasa
kasih-sayang telah mencekiknya,' ‘Yakni dia melihat bagaimana manusia digantung
di tiang salib dan tidak tahan terhadap hal itu, yakni kecintaan terhadap
manusia telah menjadi nerakanya sendiri dan pada akhirnya kematiannya?' Sang
biarawan tua tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat lain dengan malu dan
dengan raut wajah yang pedih serta muram. ‘Biar aku pergi,' kata Zarathustra
setelah suatu renungan panjang, di mana dia terus menerus menatap langsung ke
mata orang tua itu. 'Biarkan dia pergi, dia sudah selesai. Dan walaupun hal itu
mendatangkan kehormatan bagi engkau bahwa engkau hanya membicarakan hal-hal baik
tentang tuhan yang mati tersebut, engkau sudah tahu sebagaimana saya mengetahui
siapa dia; dan bahwa dia mengikuti jalan-jalan yang aneh.' Di antara kita
sendiri, kata sang biarawan tua, lebih ceria, atau, dapat saya katakan,
berbicara di bawah mata (sebab satu matanya buta) dalam hal-hal samawi saya
lebih banyak tahu daripada Zarathustra sendiri — dan semoga demikian adanya.'
‘Kecintaanku mengkhidmatinya bertahun-tahun; keinginanku menuruti seluruh
keinginannya. Seorang khadim yang baik, mengetahui segala sesuatu, dan juga
banyak hal yang disembunyikan oleh majikannya dari dirinya sendiri.' ‘Dia adalah
tuhan 'yang terselubung, penuh rahasia. Sungguh, dia bahkan menjelma dalam
bentuk seorang anak, tidak melalui cara lain kecuali dalam makna-makna rahasia
dan tidak langsung. Pada pintu keimanan dalam dirinya berdiri perzinahan.'
‘Siapa saja yang menghormatinya sebagai tuhan cinta, tidak memikirkan cukup
tinggi mengenai cinta itu sendiri. Apakah Tuhan ini juga memang tidak akan
dinilai? Namun si pencinta mencintai tanpa pertimbangan ganjaran dan hukuman.'
‘Ketika dia muda, tuhan yang berasal dari timur ini, dia keras dan penuh dendam
serta telah membangun bagi dirinya sebuah Neraka demi kesenangan para
kesayangannya.' ‘Namun, lama kelamaan dia menjadi tua dan lemah serta lembut,
dan sangat merasa kasihan melebihi dari seorang kakek daripada seorang ayah,
lebih menyerupai seorang nenek yang terhuyung-huyung.' ‘Kemudian dia duduk,
meringkuk di sudut cerobong asapnya, bersungut-sungut tentang kaki-kakinya yang
lemah, letih akan dunia, penat akan keinginan, dan suatu hari dia tercekik
karena rasa kasih-sayangnya yang berlebihan.'
(Thus
Spoke Zarathustra, oleh Friedrich Nietzsche,. h.271-273. Terjemahan Bahasa
Inggris diterbitkan oleh Penguin Books,1969).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar