Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang
terindikasi dari zhahir ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta i’tibar (logika) yang benar.
Dalil dari Al-Qur’an adalah firmanNya:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang
menjadi kebinasaanmu.
Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat
tersebut adalah bahwa merokok termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke
dalam kebinasaan.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits
yang berasal dari Rasulullah صلي الله عليه
وسلم secara shahih bahwa beliau melarang
menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada
hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta
dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak
bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat
kemudharatan.
Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana
hadits-hadits dari Rasulullah صلي الله عليه
وسلم yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga
tidak oleh membahayakan (orang lain)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam
2340]
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah
ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana
dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan
harta.
Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang
menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok
mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya,
rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu
terjadi terhadap dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak
dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya
berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya
dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang
yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan
mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila
duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka.
Semua i’tibar tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan
hukumnya. Karena itu, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh
kebiasaan menghisapnya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad
untuk meninggalakannya sebab di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon
pertolongan kepada Allah serta megharap pahalaNya dan menghindari siksaanNya,
semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkannya
tersebut.
Jika ada orang yang berkilah, “Sesungguhnya
kami tidak menemukan nash, baik di dalam Kitabullah ataupun Sunnah RasulNya
perihal haramnya merokok itu sendiri”.
Jawaban atas statemen ini, bahwa nash-nash
Kitabullah dan As-Sunnah terdiri dari dua jenis:
- Satu jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah di mana mencakup rincian-rincian yang banyak sekali hingga Hari Kiamat.
- Satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu sendiri secara langsung.
Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat
Al-Qur’an dan dua buah
hadits yang telah kami singgung di atas yang menujukkan secara umum keharaman
merokok sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.
Sedangkan untuk contoh jenis kedua adalah
firmanNya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…” [Al-Maidah : 3]
Dan firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya
(meminum) khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu” [Al-Maidah : 90]
Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke
dalam jenis pertama atau jenis kedua, maka ia bersifat keniscayaan (keharusan)
bagi semua hamba Allah karena dari sisi pendalilan mengindikasikan hal
itu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar