Powered By Blogger

Selasa, 28 Mei 2013

HUKUM BERMAIN CATUR



Mengenai hukum bermain catur, dapat dirinci menjadi dua:
1. Jika bermain catur sampai meninggalkan kewajiban dan berisi perbuatan yang haram, maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata,
وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى مُحَرَّمٍ : مِنْ كَذِبٍ وَيَمِينٍ فَاجِرَةٍ أَوْ ظُلْمٍ أَوْ جِنَايَةٍ أَوْ حَدِيثٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَنَحْوِهَا
“(Bermain catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezholiman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).
Jika demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan berjama’ah di masjid –bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi, pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat.
2. Jika tidak sampai melakukan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka terdapat khilaf atau perbedaan pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, hukumnya tetap haram. Demikian pendapat mayoritas ulama dari ulama Hambali, Malikiyah, Hanafiyah dan fatwa dari ulama saat ini seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim dan fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Pendapat kedua, hukumnya tidak haram. Demikian disebutkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah dan diikuti ulama belakangan seperti Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Al Halal wal Haram.
Dalil ulama yang mengharamkan adalah sebagai berikut.
ملعون من لعب بالشطرنج والناظر إليها كالآكل لحم الخنزير
“Sungguh terlaknat siapa yang bermain catur dan memperhatikannya, ia seperti orang yang memakan daging babi” (Disebutkan dalam Kunuzul ‘Amal 15: 215) Namun hadits ini mengandung cacat dari dua sisi: (1) mursal dan (2) majhulnya satu orang perowi yaitu Habbah bin Muslim. Sehingga hadits ini dho’if. Begitu pula hadits-hadits yang membicarakan haramnya catur tidak keluar dari hadits yang dho’if dan palsu (Demikian disebutkan oleh guru kami Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam kitab beliau Al Musabaqot hal. 227).
Dalil yang lain adalah perkataan ‘Ali bin Abu Tholib رضي الله عنه berikut:
عَنْ مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ : مَرَّ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشَّطْرَنْجِ فَقَالَ (مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِى أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
Dari Maysaroh bin Habib, ia berkata, “’Ali bin Abu Tholib رضي الله عنه pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur. Lantas ia berkata, “Apa geragangan dengan patung-patung yang kalian i’tikaf –atau berdiam lama- di depannya?” (HR. Al Baihaqi 10: 212). Imam Ahmad berkata bahwa inilah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
Sedangkan ulama yang membolehkan permainan catur beralasan bahwa Asy Sya’bi –ulama terkemuka di masa silam- pernah bermain catur. Dan hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil tegas yang mengharamkannya.
Pendapat yang terkuat dalam hal ini adalah yang mengharamkan catur dengan alasan:
1.    Meskipun hadits yang melarang adalah dho’if, namun terdapat dalil dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه yang berisi pengingkaran beliau. Inilah pemahaman secara tekstual dari dalil tersebut.
2.    Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk yang memiliki ruh)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106).
Patung catur termasuk dalam gambar tiga dimensi dan terlarang pula berdasarkan hadits ini. Demikian alasan dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin رحمه الله.
3.    Ulama yang membolehkan catur memberikan syarat: (1) tidak sampai berisi keharaman seperti judi dengan memasang taruhan, perkataan sia-sia atau celaan, dan dusta, (2) tidak sampai meninggalkan kewajiban seperti meninggalkan shalat. Namun syarat ini jarang dipatuhi oleh pemain catur sebagaimana kata guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan خفظه الله ketika membantah pernyataan Yusuf Qordhowi dalam Al Halal wal Haram yang membolehkan permainan catur. Jika syarat di atas jarang dipatuhi, bagaimana mungkin kita katakan boleh-boleh saja bermain catur?
Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Permainan catur tetap dinilai haram oleh mayoritas ulama meskipun tidak terdapat hal-hal yang terlarang. Dilarang demikian karena catur sering melalaikan dari berdzikir pada Allah, melalaikan dari shalat, menimbulkan permusuhan dan kebencian dan hal ini berbeda dengan permainan dadu apabila dadu tersebut disertai adanya taruhan. Namun jika permainan catur dan dadu sama-sama memakai taruhan, catur dinilai lebih jelek” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar