Mengenai
hukum bermain catur, dapat dirinci menjadi dua:
1.
Jika bermain catur sampai meninggalkan kewajiban dan berisi perbuatan yang
haram, maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para
ulama.
Ibnu
Taimiyah رحمه الله berkata,
وَكَذَلِكَ
يَحْرُمُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى مُحَرَّمٍ : مِنْ كَذِبٍ وَيَمِينٍ
فَاجِرَةٍ أَوْ ظُلْمٍ أَوْ جِنَايَةٍ أَوْ حَدِيثٍ غَيْرِ وَاجِبٍ
وَنَحْوِهَا
“(Bermain
catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di
dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezholiman, tindak
kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al Fatawa, 32:
245).
Jika
demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan
berjama’ah di masjid –bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi
haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi,
pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan
shalat.
2.
Jika tidak sampai melakukan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka
terdapat khilaf atau perbedaan pendapat di antara para
ulama.
Pendapat
pertama,
hukumnya tetap haram. Demikian pendapat mayoritas ulama dari ulama Hambali,
Malikiyah, Hanafiyah dan fatwa dari ulama saat ini seperti Syaikh Muhammad bin
Ibrahim dan fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’.
Pendapat
kedua,
hukumnya tidak haram. Demikian disebutkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah dan
diikuti ulama belakangan seperti Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Al Halal wal
Haram.
Dalil
ulama yang mengharamkan adalah sebagai berikut.
ملعون
من لعب بالشطرنج والناظر إليها كالآكل لحم الخنزير
“Sungguh
terlaknat siapa yang bermain catur dan memperhatikannya, ia seperti orang yang
memakan daging babi” (Disebutkan dalam Kunuzul ‘Amal 15: 215) Namun hadits ini
mengandung cacat dari dua sisi: (1) mursal dan (2) majhulnya satu orang perowi
yaitu Habbah bin Muslim. Sehingga hadits ini dho’if. Begitu pula hadits-hadits
yang membicarakan haramnya catur tidak keluar dari hadits yang dho’if dan palsu
(Demikian disebutkan oleh guru kami Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri
dalam kitab beliau Al Musabaqot hal. 227).
Dalil
yang lain adalah perkataan ‘Ali bin Abu Tholib رضي الله عنه berikut:
عَنْ
مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ : مَرَّ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ
عَنْهُ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشَّطْرَنْجِ فَقَالَ (مَا هَذِهِ
التَّمَاثِيلُ الَّتِى أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
Dari
Maysaroh bin Habib, ia berkata, “’Ali bin Abu Tholib رضي الله عنه pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur. Lantas ia
berkata, “Apa geragangan dengan patung-patung yang kalian i’tikaf –atau berdiam
lama- di depannya?” (HR. Al Baihaqi 10: 212). Imam Ahmad berkata bahwa inilah
hadits yang paling shahih dalam bab ini.
Sedangkan
ulama yang membolehkan permainan catur beralasan bahwa Asy Sya’bi –ulama
terkemuka di masa silam- pernah bermain catur. Dan hukum asal segala sesuatu
adalah halal sampai ada dalil tegas yang mengharamkannya.
Pendapat
yang terkuat dalam hal ini adalah yang mengharamkan catur dengan
alasan:
1.
Meskipun
hadits yang melarang adalah dho’if, namun terdapat dalil dari perkataan ‘Ali bin
Abi Tholib رضي الله عنه yang berisi pengingkaran beliau. Inilah pemahaman secara
tekstual dari dalil tersebut.
2.
Buah
catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui
bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi
صلى الله عليه وسلم bersabda,
إِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
“Para
malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu
gambar makhluk yang memiliki ruh)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106).
Patung
catur termasuk dalam gambar tiga dimensi dan terlarang pula berdasarkan hadits
ini. Demikian alasan dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin رحمه الله.
3.
Ulama
yang membolehkan catur memberikan syarat: (1) tidak sampai berisi keharaman
seperti judi dengan memasang taruhan, perkataan sia-sia atau celaan, dan dusta,
(2) tidak sampai meninggalkan kewajiban seperti meninggalkan shalat. Namun
syarat ini jarang dipatuhi oleh pemain catur sebagaimana kata guru kami, Syaikh
Sholeh Al Fauzan خفظه الله ketika membantah pernyataan Yusuf Qordhowi dalam Al Halal wal
Haram yang membolehkan permainan catur. Jika syarat di atas jarang dipatuhi,
bagaimana mungkin kita katakan boleh-boleh saja bermain
catur?
Ibnu
Taimiyah رحمه الله berkata, “Permainan catur tetap dinilai haram oleh mayoritas
ulama meskipun tidak terdapat hal-hal yang terlarang. Dilarang demikian karena
catur sering melalaikan dari berdzikir pada Allah, melalaikan dari shalat,
menimbulkan permusuhan dan kebencian dan hal ini berbeda dengan permainan dadu
apabila dadu tersebut disertai adanya taruhan. Namun jika permainan catur dan
dadu sama-sama memakai taruhan, catur dinilai lebih jelek” (Majmu’ Al
Fatawa, 32: 245).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar