Para ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan akan contoh-contoh
kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya
melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil,
seperti berdo’a dan minta
tolong kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, ruku’ kepada selain Allah, nadzar kepada
selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, keyakinan bahwa
seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut
selain Allah”, menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu” , dan
mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
orang”.
Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah
dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi
Ka’bah, demi ayahku, demi
tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudi-an ia melanggar sumpahnya itu,
maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).
Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain
nama Allah, dilarang oleh Rasulullah . Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah
melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang
mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.”
Kami diberitahu Ibnu ‘Uyainah, katanya, ia diberitahu
az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari Ayah-nya, kata ayahnya, “Nabi
mendengar Umar ber-sumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda,
“Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut
nenek moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak
pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”
Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang
bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu.
Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.
Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki
mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh tujuh adalah menyembelih
binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan
kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam
penyembelihannya, seperti mengagungkan dengan cara beribadah dan
sujud.”
Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan
“Menurut ulama penerus madzhab Syafi’i, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu
haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah
dan nama Muhammad”, ‘atau
Muhammad Rasulullah’ atau
‘Muhammad’. Demikian pula apabila seorang
kafir kitabi (Yahudi dan
Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula
orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk
penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang
disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.”
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam
al-Rafi’i mengatakan,
“Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur
seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang
dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka
apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud, dan ini yang banyak
terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau
ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya
dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar
tersebut batal, tidak sah.
Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa
tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat
itu dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu,
tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan
nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersandaran
pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan
minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang, atau
tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud
seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang hilang bisa
kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.
Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal,
tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan
lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk
memasang lilin yang besar dan banyak di makam Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang
lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksud
lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan
mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan
ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu
adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.”
Imam Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang
bernadzar untuk berjalan kaki menuju ke masjid selain tiga masjid (Masjidil
Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan
menurut madzhab Syafi’i,
nadzar tersebut tidak sah.”
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar
al-Makki mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut
“Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan na-ma Muhammad).” Kata beliau,
“Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad
dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja
sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.
Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama
Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal
itu dimakruhkan.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami
asy-Syafi’i berkata, “Hal
itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak
boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para
wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur
mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf
mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain, Syaikh
al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik,
tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.
Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk
orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk memasang
gordyn (kelambu) dan
membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang
bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Perbuatan ini dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan Pakistan, mereka
bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala,
Khurasan, dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke
kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni
kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari
kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit
dan bumi.
Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur
para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk
kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak
boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus minta ampun kepada Allah,
bertaubat, membaca kalimat shahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk
selain Allah itu syirik.
Orang yang mewakafkan kebun atau binatang
untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada
orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun
atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk
kita dan mereka.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa
nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah
batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali dimasukkan ke situ? Apabila ia
bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama
sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa
penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana
akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk;
tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan
perbuatan seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu
mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal
itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”.
Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran.
Mereka tidak punya tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.
Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa
tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk
menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits riwayat
Tsabit adh-Dhahhak, katanya,
“Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah.
Ia bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi ,
“Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi bersabda,
“Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar
yang berunsur maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam
hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar