Perkawinan dalam Islam adalah suatu
ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat
untuk bergaul antara suami-isteri dengan abadi, supaya dapat memetik buah
kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman,
kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Seperti yang diterangkan
Allah dalam al-Quran:
Adapun kawin mut'ah adalah ikatan
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan
upah tertentu pula. Oleh karena itu tidak mungkin perkawinan semacam ini dapat
menghasilkan arti yang kami sebutkan di atas.
Kawin mut'ah ini pernah diperkenankan
oleh Rasulullah s.a.w. sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu
diperkenankannya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkannya
untuk selama-lamanya.
Rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu
itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang
kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam.
Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di
mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk
pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang
cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang
imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji
dan cara yang tidak baik.
Sedang bagi mereka yang kuat imannya
berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang
dikatakan oleh Ibnu Mas'ud:
"Kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu waktu tertentu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, maka dibolehkannya
kawin mut'ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi
oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju diundangkannya hukum
perkawinan yang sempurna, di mana dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh
tujuan perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya
keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan
karena perkawinan itu.
Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan
arak dan riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan
tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya
kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. Misalnya tentang mut'ah,
dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya.
Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ali
dan beberapa sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut:
"Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi s.a.w. dalam peperangan fat-hu Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk kawin mut'ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah keluar sehingga Rasulullah s.a.w. mengharamkan kawin mut'ah itu." (Riwayat Muslim)
Dalam satu riwayat
dikatakan:
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (Riwayat Muslim)
Tetapi apakah haramnya mut'ah ini
berlaku untuk selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak, ataukah
seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang dibolehkan ketika dalam keadaan
terpaksa dan takut berbuat dosa?
Menurut pendapat kebanyakan sahabat,
bahwa haramnya mut'ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun rukhshah,
sesudah hukum tersebut diundangkan.
Tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain, ia
berpendapat boleh ketika terpaksa, yaitu seperti tersebut di bawah
ini:
"Ada seorang yang bertanya kepadanya tentang kawin mut'ah, kemudian dia membolehkannya. Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!" (Riwayat Bukhari)
Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan
sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak
membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar